laporan praktikum fenomena distribusi
PRAKTIKUM
FARMASI FISIK
FENOMENA
DISTRIBUSI
DIFAFITRIANI
F201601015
G1 FARMASI
G1 FARMASI
LABORATORIUM
FARMASI FISIK
PROGRAM
STUDI S1 FARMASI
STIKES
MANDALA WALUYA
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena distribusi merupakan salah
satu hal yang penting bagi seorang farmasis, ditambah berbagai factor yang
mempengaruhi cabang ilmu tersebut. Lebih khusus pengaruhnya terhadap distribusi
obat di dalam tubuh manusia. Hal-hal yang termasuk didalam koefisien partisi
adalah kerja obat organ target serta distribusi dan absorbsinya keseluruh
bagian tubuh sampai memberikan efek terapeutik.
Satu hal penting dari fenomena
distribusi adalah sifat senyawa obat itu agar dapat melalui membran sel yang
terdiri dari lipoprotein atau suatu lapisan hidrofil dan hidrofob.
Amplikasi koefisien distribusi dalam
bidang farmasi yaitu untuk menentukan pengawet yang akan digunakan dalam
sediaan dan untuk menentukan absorbs dan distribusi suatu bahan obat dalam
tubuh. Pengawet yang baik dalam sediaan emulsi misalnya harus dapat larut dalam
air dan minyak . sebab jika pengawet hanya larut dalam air maka fase
minyak akan ditumbuhi oleh mikroorganisme sehingga tidak menghasilkan suatu
sediaan yang baik
1.2 Tujuan Percobaan
·
Menetapkan perbandingan kelarutan suatu
zat dalam dua pelarut yang saling tidak bercampur
·
Menetapkan koefisien partisi asam salisilat
dalam pelarut air dan minyak yang saling tidak bercampur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Teori Umum
Air adalah pelarut yang baik untuk garam, gula dan
senyawa sejenis, sedang minyak mineral dan benzene biasanya merupakan pelarut
untuk zat yang biasanya hanya sedikit larut dalam air. Penemuan empiris ini
disimpulkan dalam pernyataan like dissolve like. Kelarutan bergantung pada
pengaruh kimia, listrik, struktur yang menyebabkan interaksi timbal balik zat
pelarut dan zat terlarut (Martin, 1993).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat
artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari
segi terapeutik kita mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi
obat pada tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada
organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi
dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui
penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk
memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk
sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui
membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1993)
Jika kelebihan cairan atau
zat pelarut ditambahkan ke dalma campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat
itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi
jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah
yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap
berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu
(Martin, 1993).
Zat terlarut
terlarut dalam satu fase , dalam kesetimbangan dengan fase bercampur lain , didistribusikan antara dua
fase sehingga rasio konsentrasi dalam dua fase adalah konstan pada temperatur
tertentu . pada kesetimbangan ini konstan, K , disebut sebagai konstanta
distribusi atau koefisien partisi , didefinisikan oleh Nernst sebagai
K = Cu/Cl dimana cu dan cl adalah konsentrasi di fase atas dan bawah ,
masing-masing. hubungan berlaku ketika molekul setiap fase dalam keadaan yang
sama agregasi . jika zat
terlarut dipisahkan atau berhubungan , bentuk-bentuk yang lebih kompleks dari
persamaan harus diterapkan . itu juga diakui bahwa hanya dalam sistem yang
ideal adalah koefisien partisi independen dari tota zat terlarut ini, penyimpangan ini begitu
terkenal sehingga dalam literatur teknik kimia persamaan di atas dianggap kasus
membatasi .partisi lemak / air dari suatu
molekul merupakan indeks yang berguna dalam
kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Gandjar, 2007).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut,
yaitu pelarut air dan bukan air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan
dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara dua muatan itu dalam ruang
hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini
menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut.
Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC,
merupakan pelarut yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga
merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut
yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk
zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai,
1995).
Untuk memproduksi
suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama harus menyeberangi suatu
membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas lemak untuk kebanyakan obat-obat
dan mengizinkan absorbsi zat-zat yang larut dalam lemak dengan difusi pasif
sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak dapat mendifusi menyeberangi
pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali. Hubungan
antara konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat absorbsi
serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori
pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan
suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari
efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian
(Ansel,2005).
Ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu :
- Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah
kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.
- Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu
larutan maka laju distribusi makin kecil.
- Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik
terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran
tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang
kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut
adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju
distribusinya negatif.
- Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju –
laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi
aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
- Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi
dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini
terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
- Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat
memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan
frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk
mengaktifkan molekul –molekul (Cammarata, 1995)
3.2 Uraian Bahan
1.
Asam salisilat (FI. Edisi III. Hal 56)
Nama
resmi
|
:
|
ACIDUM
SALICYLICUM
|
sinonim
|
:
|
asam
salisilat
|
pemerian
|
:
|
hablur
ringan tidak berwarna atau serbuk warna putih hampir tidak berbau, rasa
agak manis dan tajam.
|
kelarutan
|
:
|
larut
dalam 550 bagian air, dan dalam 4 bagian etanol (95%)p, mudah larut
dalam klorofom p, dan dalam eter p, larut dalam larutan ammonium asetat p,
dinatrium hydrogen fosfat p, kalium sitrat dan natrium sitrat.
|
penyimpanan
|
:
|
dalam wadah
tertutup baik.
|
kegunaan
|
:
|
keratolikum yaitu obat yang digunakan
pada kulit atau keratin atau epitel tanduk, menimbulkan dehidrasi atau
pelunakan.
|
2. Minyak
kelapa
Nama
resmi
|
:
|
OLEUM COCOS
|
sinonim
|
:
|
Minyak Kelapa
|
pemerian
|
:
|
Cairan jernih, tidak berwarna, atau
kuning Pucat, bau khas tidak tengik
|
kelarutan
|
:
|
Larut
dalam 2 bagian etanol (95%) p, pada suhu 600C, sangat mudah larut dalam
kloroform P dan eter P
|
penyimpanan
|
:
|
Dalam wadah
tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk
|
kegunaan
|
:
|
zat tambahan
|
3. Natrium
hidroksida
Nama
resmi
|
:
|
NATRII HIDROCIDUM
|
sinonim
|
:
|
Natrium
Hidroksida
|
pemerian
|
:
|
bentuk
batang massa hablur air keping-keping, keras dan rapuh dan menunjukkan
susunan hablur putih mudah meleleh basa sangat katalis dan korosif segera
menyerap karbondioksida.
|
kelarutan
|
:
|
sangat
mudah larut dalam air
|
penyimpanan
|
:
|
Dalam wadah
tertutup baik
|
kegunaan
|
:
|
Sebagai titran
|
4. Aquadest
Nama
resmi
|
:
|
AQUADESTILLATA
|
sinonim
|
:
|
Air suling, Aquadest
|
pemerian
|
:
|
cairan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
|
penyimpanan
|
:
|
Dalam
wadah tertutup rapat
|
kegunaan
|
:
|
Sebagai
pelarut
|
5. Indicator
PP
Nama
resmi
|
:
|
FENOLFTALEIN
|
pemerian
|
:
|
Serbuk
hablur putih atau putih kekuningan lemah, tidak berbau, stabil di
udara.
|
kelarutan
|
:
|
Praktis
tidak larut dalam air, larut dalam etanol
|
penyimpanan
|
:
|
Dalam
wadah tertutup rapat
|
kegunaan
|
:
|
Zat tambahan,indicator
|
BAB III
PERCOBAAN
3.1
Alat Dan Bahan
3.1.1 Alat
-
Erlenmeyer 250 ml
-
Gelas ukur 25 ml dan 50 ml
-
Magnetic stirrer
-
Corong pisah
-
Buret
-
Timbangan
3.1.2
Bahan
-
Aquadest
-
Asam salisilat
-
Minyak kelapa
-
Indicator pp 0,1 %
-
NaOH 0,1 N
3.2
Prosedur Kerja Di Laboratorium
1. Dimasukan
aquadest 100 ml ke dalam Erlenmeyer 250 ml ditambahkan ke dalamnya 250 mg asam
salisilat hingga larut diaduk homogen sebagai larutan A
2. Diambil
larutan A 50 ml dan dimasukan ke dalam corong pisah ditambahkan minyak 50 ml
dan kemudian dikocok sampai 15 menit.
3. Dibiarkan
beberapa saat sampai ke dua larutan terpisah
4. Diambil
25 bagian aquadest dari corong pisah dengan gelas ukur . diamasukan ke dalam
Erlenmeyer yang lain
5. Ditambahkan
dengan indicator pp 0,1 % pada Erlenmeyer sebanyak 3 tetes
6. Dititrasi
dengan NaOH 0,1 N sampai larutan menjadi merah muda
7. Dihitung
kadar asam salisilat
(
1 ml NaOH 0,1 N ≈ 13,81 mg asam
salisilat )
%
kadar =
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
4.1
Tabel Pengamatan
Kelompok
|
sampel
|
Volume
titran
|
I
dan II
|
Asam
salisilat
|
3,5
ml
|
III
dan IV
|
Asam
salisilat
|
5,2
ml
|
4.2
Perhitungan
%
kadar asam salisilat pada dua percobaan
I.
% kadar asam salisilat =
=
II.
% kadar asam salisilat =
=
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini akan
diketahui persen kadar asam salisilat ke dalam kedua fase antara minyak dan
air. air dan minyak digunakan karena memiliki bobot jenis yang berbeda, bobot
minyak adalah 0,0903 g/ml sedang air adalah 0,997 g/ml
(dirjen POM, 1979)
Dari bobot diatas dapat
diketahui bahwa bobot jenis minyak lebih kecil dibanding air sehingga jika
dicampurkan minyak selalu berada diatas air.
Asam salisilat menurut farmakope
Indonesia edisi III memiliki rumus molekul C7H6O3 dan rumus struktur
Dari rumus strukturnya dapat diketahui
bahwa asam salisilat memilki gugus polar (larut dalam air) dari yaitu OH-
dan non polar yaitu cincin benzene itulah mengapa digunakan asam salisilat
dalam percobaan fenomena distribusi karena dapat larut pada kedua fase ( Dirjen
POM, 1979)
Selama praktikum
setelah asam salisilat dimasukan pada corong pisah dilakukan pengocokan selama
15 menit agar zat dapat melakukan keseimbangan antara zat yang dapat larut
dalam air dan dapat larut dalam minyak. Dibiarkan beberapa saat agar kedua fase
ini dapat memisahkan diri. Dalam titrasi
zat yang digunakan sebagai titrat adalah bagian air hal ini dilakukan karena
titran yang digunakan adalah NaOH . jika digunakan fase minyak maka akan
terjadi saponifikasi yang merupakan reaksi hidrolisis asam lemak oleh adanya
basa lemah (Fessenden, 1982).Sesaat sebelum titrasi ditambahkan indicator PP
untuk mengetahui TAT.
Adapun reaksi
yang terjadi antara asam salisilat dan NaOH adalah :
(asam)
(basa) ( garam ) (air)
Reaksi
ini terjadi saat mencapai titik ekuivalen dimana asam salisilat habis beraksi
dengan NaOH sehingga terbentuk endapan
putih. Setelah sampel habis beraksi maka akan dapat ditentukan titik akhir
titrasi ( TAT ) . TAT merupakan keadaaan saat indicator berubah warna dan perubahan ini akan terjadi bila
dalam Erlenmeyer terdapat titran yang berlebih. Indicator
yang digunakan adalah indicator PP atau Fenolftalein
merupakan indikator sintetis (buatan)
yang dapat dibuat didalam laboratorium dengan menggunakan bahan fenol dan
ftalat anhidrida melalui reaksi kondensasi. Fenolftalein termasuk senyawa
golongan ftalein yang bersifat asam lemah. Fenolftalein umumnya dipakai sebagai indikator dalam
menentukan titik akhir titrasi asam kuat dengan basa kuat. Fenolftalein
mempunyai trayek pH 8,3-10,0 (Bassett, 1994)
Dalam titrasi basa
seperti NaOH sebagai titran, maka akan
terjadi perubahan warna indikator fenolftalein dari tak berwarna, yaitu dalam
rentangan pH larutan dibawah 8,3. Fenolftalein mulai berubah warna menjadi
merah muda pada rentangan pH 8,3-10,0 Hal ini didukung dengan hasil percobaan
yang menunjukkan bahwa dalam konsentrasi NaOH yang semakin pekat, warna
fenolftalein semakin pudar Perubahan warna ini tentunya
disebabkan oleh perubahan struktur fenolftalein dalam kondisi penambahan basa
yang berlebih (Petruševski dan
Risteska, 2007).
Titran bisa berlebih karena sample
sudah tidak ada lagi (habis bereaksi) atau dengan kata lain TE sudah tercapai.
Kelebihan titran ini tidak boleh banyak bahkan harus sangat sedikit. Sehingga
reaksi yang terjadi antara titran dan indicator yaitu :
Perubahan warna
yang terjadi saat mencapai titik akhir titrasi adalah merah muda. Hal ini
sesuai dengan perubahan warna yang dinyatatakan oleh Bassett bahwa jika
indicator pp kelebihan senyawa basa maka warna akan berubah dari bening menjadi
merah muda.
Kadar asam salisilat pada kedua
percobaan adalah 19,32 % dan 28,72 % hal ini sangat jauh dengan kadar yang
tercantum dalam literatur yaitu tidak kurang dari 99,5 % (dirjen POM,1979)
Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa hal :
1. Tidak
kuatnya pengocokan yang menyebabkan asam salisilat tidak terdistribusi secara
merata pada kedua fase.
2. Tidak
digunakannya air bebas CO2
3. Indicator
yang digunakan kurang steril
BAB VI
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
1.
Kadar asam salisilat pada kedua
percobaan adalah 19,32 % dan 28,72 %
2.
Kadar asam salisilat pada percobaan
tidak memenuhi syarat kadar asam salisilat sesuai farmakope yaitu sebesar 99, 5
%
3.
Reaksi antara asam salisilat dan natrium
hidroksida menghasilkan natrium salisilat
6.2
Saran
Selama praktikum diharapkan kepada semua
praktikan untuk lebih teliti dalam menentukan titik akhir titrasi sehingga
diperoleh hasil kadar zat yang lebih akurat. Diharapkan kepada praktikan untu
DAFTAR
PUSTAKA
Allen, Jr., Popovich, and Ansel. 2005. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery Systems, Eight Edition, Lippicott Williams and Wilkins, America,
228-245.
Basset, J, et al. 1994. Buku Ajar Vogel;
Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
Cammarata, S. 1995. Farmasi Fisika. UI-Press : Jakarta
Dirjen POM. 1979. FI Edisi III. Depkes RI : Jakarta
Ernest.
1999 . Dinamika Obat. ITB : Bandung.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A., 2007.Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar
: Yogyakarta
Martin,
Alfred. 1993. Farmasi Fisik, jilid I
Edisi III. UI-Press : Jakarta
Petruševski, Vladimir M. dan Risteska,
Keti. 2007. Behaviour of
Phenolphthalein in Strongly Basic Media. Chemistry, Vol. 16, Iss. 4
(2007).
Rivai Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia.Penerbit UI Press
: Jakarta
k
memahami setiap prosedur kerja percobaan untuk meminimalisir kesalahan selama
praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Allen, Jr., Popovich, and Ansel. 2005. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery Systems, Eight Edition, Lippicott Williams and Wilkins, America,
228-245.
Basset, J, et al. 1994. Buku Ajar Vogel;
Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
Cammarata, S. 1995. Farmasi Fisika. UI-Press : Jakarta
Dirjen POM. 1979. FI Edisi III. Depkes RI : Jakarta
Ernest.
1999 . Dinamika Obat. ITB : Bandung.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A., 2007.Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar
: Yogyakarta
Martin,
Alfred. 1993. Farmasi Fisik, jilid I
Edisi III. UI-Press : Jakarta
Petruševski, Vladimir M. dan Risteska,
Keti. 2007. Behaviour of
Phenolphthalein in Strongly Basic Media. Chemistry, Vol. 16, Iss. 4
(2007).
Rivai Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia.Penerbit UI Press
: Jakarta

Komentar
Posting Komentar